Agresifitas Pada Anak
Di ruang-ruang pembicaraan orangtua sering muncul keluhan kenapa ya anak saya menjadi agresif. Gaya omongannya menyerang, sikapnya tidak seperti pada zaman kita dulu terhadap orangtua yang cenderung takut. Jika kemauannya tidak dituruti, perilakunya langsung reaktif, seperti membanting pintu atau melawan. Pertanyaannya, apakah itu tren zaman atau memang watak anak-anak? Kalau ditinjau dari teorinya, memang dua-duanya berperan. Teori Tabularasa mengatakan anak-anak itu bagaikan lembaran putih. Lingkunganlah yang berperan mengisinya, dari mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat, dengan segala isinya.
Tayangan televisi yang mengumbar perdebatan sengit, ungkapan yang agresif, sikap yang antisosial, dan lain-lain, bisa dimasukkan ke dalam faktor eksternal yang ikut membentuk keagresifan anak. Peradaban dalam keluarga yang dirasakan anak selama dalam berinterakasi juga ikut berperan. Dilihat dari sini, keagresifan anak adalah tren zaman atau pengaruh dari luar. Tapi, kalau menurut teori lain, faktor eksternal itu bukan satu-satunya. Teori perkembangan mengatakan agresifitas anak merupakan bagian dari problem perkembangan, proses alamiah karena mereka belum terlatih mengontrol diri atau karena faktor internal.
Sebagai orangtua, sikap kita yang terpenting bukan memperdebatkan mana teori yang benar, melainkan berusaha menangkap pesannya. Perkembangan anak itu ada yang dipengaruhi faktor eksternal dan faktor internal. Karena itu perlu ada usaha untuk menciptakan kondisi eksternal yang mendukung dan usaha untuk mengembangkan kapasitas internalnya.
Jika ditangkap pesan spiritualnya, kenyataan seperti ini mengisyaratkan bahwa kita ini tidak boleh sombong dengan meyakini anak kita pasti menjadi orang baik karena kita orang baik. Atau juga tidak perlu merasa minder duluan karena gen kita bukan orang hebat. Tuhan telah membuktikan ini melalui kisah tokoh-tokoh populer dan keluarganya di dunia ini dan di sekeliling kita.
Semoga Jangan Sampai Berlanjut Ke Remaja
Walaupun perilaku agresif anak itu terbilang manusiawi karena kapasitas kontrol-dirinya masih rendah, tapi tidak bisa ini selalu kita jadikan sebagai pembenar untuk tidak mengambil sikap dan tindakan apa-apa. Justru ini perlu kita lihat sebagai isyarat bahwa kita perlu bersikap dan bertindak, sesuai keadaan, kemampuan dan komitmen. Kenapa? Seagresif-agresifnya anak, orangtua masih punya ruang kontrol yang sangat-sangat besar terhadap mereka karena berbagai keterbatasannya.
Kalau dia tidak diberi uang saku, dia tidak bisa kemana-mana. Semarah-marahnya dia, kekuatan dan dampaknya masih bisa dikendalikan. Tapi coba bila ini berlanjut sampai usia remaja dan dewasa karena kita tidak bersikap dan bertindak semasa anak-anak? Besaran masalahnya dan dampaknya akan beda. Sudah sering kita lihat berita di televisi ada anak remaja awal yang melakukan pelanggaran yang tergolong besar, dari mulai tawuran dengan senjata tajam, lari dari rumah, masuk dalam jebakan agen narkoba, dan lain-lain. Kalau sudah begini, orangtua semakin kecil ruang kontrolnya.
Laporan studi internasional menunjukkan bahwa anak yang dari usia 3-10 tahun tidak tertangani dengan baik keagresifannya, akan sangat mudah diprediksi (good predictor) menjadi remaja yang agresif (International Longitudinal Study, by Cummings, et al:1989). Ini mungkin bisa menjadi penjelasan mengapa banyak anak SMP, SMA, atau mahasiswa yang sedikit-sedikit agresif.
Laporan studi lain, seperti dikutip Dr. Pelaez, dari Florida International University, mengungkap bahwa anak-anak yang mendapatkan warisan tradisi agresif dari orangtuanya atau keluarga besarnya, akan cenderung menjadi anak yang agresif. Beberapa anak juga sangat mungkin akan tumbuh menjadi agresif karena hidup di tengah lingkungan yang agresif.
Memang, logika hidup yang linier demikian tidak seratus persen merepresentasikan kenyataan. Ada beberapa anak yang punya kapasitas mengoreksi apa yang kurang baik dari orangtua atau lingkungan. Tetapi ini umumnya kembali ke faktor hidayah. Hidayah dalam arti ada pencerahan yang didapatkan dari Tuhan melalui renungan, eksplorasi, atau ajaran kebijaksanaan, misalnya Sidharta, Gandhi, Ibu Theresa, Tao, dan lain-lain.
Nah, dari banyak fakta yang bisa kita amati, perilaku agresif anak yang semula biasa tetapi kemudian berubah menjadi luar biasa itu memang sepertinya mendapatkan dukungan secara tidak langsung dari sikap kita sebagai orangtua. Dukungan yang kita berikan umumnya dalam bentuk:
1. Selalu menyalahkan televisi. Mungkin televisi itu salah dengan tayangannya, tetapi dia tidak bisa dituntut bertanggung jawab untuk melahirkan anak yang baik.
2. Hanya mengutuk zaman, kenapa ada facebook, internet, mall dan seterusnya. Zaman akan tetap berubah, terlepas kita kutuk atau tidak. Kitalah yang mestinya harus berubah juga
3. Memusuhi anak atau memarahinya. Tugas kita adalah mendidik atau mengasuhnya, bukan semata bereaksi secara reaktif terhadap keagresifannya.
Artinya, menuding ke luar, entah ke setan, lingkungan atau zaman, sejauh hanya kita niatkan untuk menuding, kurang bisa membuahkan kebaikan, walaupun mungkin benar. Selain menuding, perlu ada kesadaran untuk meningkatkan kapasitas anak dalam menundukkan insting agresifnya dari kecil.
Bagaimana Keagresifan Berproses?
Perilaku agresif anak secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hostile agression, misalnya suka memancing permusuhan atau menyakiti temannya tanpa sebab yang kuat atau merampas alat tulis temannya. Yang satu lagi adalah instrumental agression, misalnya dia membanting pintu karena tidak dikabulkan permintaannya. Agresi dijadikan alat untuk mendapatkan keinginan. Menurut riset, anak laki-laki lebih besar kecenderungan untuk bertindak agresif.
Kalau dilihat dari levelnya, mungkin ada anak yang keagresifannya baru pada tingkat ucapan, misalnya sedikit-sedikit menjerit untuk melampiaskan protesnya, berkata dengan nada kasar, seperti dalam sinetron. Tapi ada juga yang sudah sampai pada level tindakan, entah itu yang bersifat hostile atau instrumental.
Terlepas apapun bentuk dan sifatnya, tapi ada yang secara pendidikan perlu kita bedakan antara pengaruh yang membentuk perilaku anak-anak dan orang dewasa. Untuk kepentingan pendidikan,dan perubahan, kita disarankan untuk meyakini bahwa pengaruh yang paling kuat membentuk perilaku anak adalah faktor eksternal.
Tujuannya adalah supaya muncul inisiatif perbaikan dari cara kita dalam mendidik dan tidak melulu menyalahkan anak. Faktor eksternal apa saja yang paling kuat mempengaruhi anak? Untuk anak yang berusia nol sampai belasan (sebelum remaja senior), pengaruh itu antara lain:
1. Suasana psikologis yang dialami anak selama berinteraksi dengan orang dewasa di sekitarnya
2. Kualitas kedekatan dengan orangtua, terutama sang ibu
3. Tingkat pengenalan terhadap makna hidup
4. Suasana rumah tangga
5. Pola pembiasaan perilaku dalam hidup
6. Lingkungan sosial
7. Tayangan yang dilihat anak
Sementara, untuk orang dewasa, secara pendidikannya kita disarankan untuk meyakini bahwa pengaruh yang paling kuat membentuk perilakunya adalah dirinya sendiri. Walaupun dalam prakteknya mungkin tidak begitu, namun dalam keyakinannya harus begitu. Alasannya adalah agar muncul inisitif untuk bertanggung jawab (internal locus of control). Dialah yang harus berubah. Bayangkan kalau sudah mahasiswa, sudah kerja atau sudah berumah tangga, tapi masih kita ajari untuk menyalahkan dosennya, atasannya, lingkungannya, sopirnya, mertuanya, dan seterusnya. Mungkin dia akan lamban cerdas untuk dirinya sendiri gara-gara kita.
Di tradisi para orangtua kita dulu, pengalihan tanggung jawab dari faktor eksternal ke internal itu ditandai dengan mengadakan Selamatan. Misalnya saja untuk anak perempuan yang sudah menstruasi atau anak laki-laki yang sudah masuk puber. Tujuannya adalah penegasan dan harapan.
Non-Aggressive Environment
Melanjutkan apa yang sudah kita bahas di muka, bahwa faktor eksternallah yang paling berperan mempengaruhi anak-anak kita, maka yang mendesak untuk kita lakukan adalah berinisiatif menciptakan lingkungan yang non-agresif. Pasti ini tidak mudah. Hanya saja, persoalannya bukan mudah atau sulit. Persoalannya adalah apa yang perlu kita lakukan agar keagresifan anak-anak tidak berlanjut hingga usia remaja atau dewasa, yang saat itu sulit dikontrol. Dari beberapa poin yang kita singgung di muka, kira-kira yang perlu kita lakukan itu adalah:
Pertama, mengurangi seoptimal mungkin rewards yang sifatnya menciptakan ancaman psikologis pada anak. Sekali-kali mungkin kita perlu ketawa atau santai saja melihat anak bersuara keras atau membanting pintu. Jika kita mengalahkannya dengan keagresifan juga, dia akan belajar bahwa jurus yang top di dunia ini adalah agresif, seperti ayah-ibu melakukannya. Tapi tidak berarti marah harus dihilangkan. Selain sulit, anak pun perlu tahu sikap kita terhadap perilaku yang kurang beradab. Hanya, yang paling penting bukan marah atau ketawa, tetapi mengantarkan anak memahami perlunya mengurangi perilaku agresif dan pentingnya mengontrol emosi.
Kedua, menciptakan kualitas attachment (kelekatan) yang bagus. Namanya anak-anak pasti lengket sama orangtua atau orang dewasa. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan (comfort and secure). Tapi, dalam prakteknya tujuan itu bisa gagal karena keagresifan orang dewasa. Jika kebiasaan itu terjadi tanpa koreksi apa-apa, anak-anak akan mempunyai kesempatan untuk meng-copy atau menafsirkan perilaku kita. Mungkin tafsiran yang ia ciptakan adalah supaya hidup kita aman dan nyaman, kita harus agresif atau tafsiran lain yang mendukung.
Ketiga, suasana komunikasi yang lebih berkualitas. Walaupun setiap saat kita berkomunikasi dengan anak-anak di rumah, tetapi soal kualitasnya tidak bisa disamakan. Ada yang diwarnai aksi menyerang secara lisan dan ada yang diwarnai kasih sayang. Kulitas komunikasi yang diwarnai penyerangan dapat menyuburkan sifat-sifat agresif pada anak.
Keempat, disiplin tertentu untuk meningkatkan kontrol diri. Disiplin tidak hanya berefek pada peningkatan intelektual semata, misalnya mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Tetapi juga dapat memperbaiki kualitas mental karena dia akan berlatih untuk mrnyuruh dan melarang dirinya. Mengenai cara-cara untuk menerapakan disiplin itu sudah sering kita bahas di sini.
Kelima, mendampingi anak atau mengajak dia berdialog mengenai tayangan televisi untuk melatih sikap dia terhadap kenyataan. Walaupun tidak rutin tapi kita perlu berusaha mengajak anak untuk mendialogkan perilaku dalam tayangan itu lalu menanyakan sikapnya dan logika yang ia jadikan pijakan dalam menentukan sikap. Semakin kuat konstruksi logikanya, akan semakin kuat juga sikap dia terhadap kehidupan.
Bagaimana dengan pengaruh sosial yang tentu saja di luar kontrol kita? Untuk masalah yang ini, selain memang perlu ada upaya-upaya preventif seperti di atas, kita juga perlu menciptakan upaya preventif lain yang basisnya spiritual. Mendoakan anak adalah salah satunya, seperti yang dilakukan dan disarankan nenek moyang dan leluhur kita.
Demikian juga dengan kekayaan. Walaupun secara logika-materialisnya tidak memiliki hubungan yang kausatif (sebab akibat) antara kekayaan dengan kualitas perilaku anak, tapi secara spiritualnya hubungan itu disarankan untuk diyakini ada. Ajaran agama mengatakan gen itu menetes.
Lingkungan Sebelum Transaksi
Ada ajaran yang memberi kita tips bagaimana kita membeli rumah. Walaupun mungkin tidak berlaku untuk semua kasus, tapi penting juga untuk kita jadikan patokan. Tips-nya adalah perhatikan dulu lingkungan di sekitar rumah itu sebelum kita bertransaksi.
Bagaimana kalau kita sudah terlanjur menempati rumah yang menurut kita lingkungan tidak mendukung? Kalau kita tidak menemukan lingkungan yang cocok di luar rumah, ya kita harus menciptakannya di dalam rumah. Semoga bermanfaat (http://www.e-psikologi.com)
0 komentar:
Posting Komentar